Tradisi Budaya - Malam itu, angin berdesir lembut membawa aroma dupa dan doa-doa yang dipanjatkan. Di seluruh penjuru Nusantara, denting gamelan berpadu dengan lantunan dzikir, mengukir kisah penyambutan Tahun Baru 1447 Hijriyah. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya etnis Jawa, malam 1 Muharram atau yang akrab disebut 1 Suro bukanlah sekadar pergantian angka di kalender. Ia adalah gerbang menuju introspeksi, penyucian diri, dan harapan akan berkah yang melimpah.
Mari kita bertualang sejenak, menelusuri ragam tradisi yang membalut malam istimewa ini di berbagai sudut Tanah Air.
Kirab Pusaka dan Tapa Bisu di Keraton Jawa
Di jantung Pulau Jawa, suasana malam 1 Suro memiliki nuansa sakral yang mendalam, terutama di lingkungan keraton. Di Keraton Surakarta Hadiningrat, malam 1 Suro dirayakan dengan tradisi Kirab Pusaka. Ribuan masyarakat, dari abdi dalem hingga warga biasa, tumpah ruah di jalanan, menyaksikan iring-iringan pusaka keraton yang diarak keliling benteng. Pusaka-pusaka ini, yang diyakini memiliki kekuatan spiritual, menjadi simbol penjagaan dan harapan akan keselamatan di tahun yang baru. Gemuruh langkah dan lantunan doa mengiringi setiap pergerakan, menciptakan atmosfer yang khidmat dan magis.
Sementara itu, di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tradisi yang paling menonjol adalah Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng. Dalam keheningan yang syahdu, ribuan orang mengelilingi tembok keraton tanpa berucap sepatah kata pun. Setiap langkah adalah refleksi, setiap embusan napas adalah doa. Tradisi ini bukan hanya tentang menahan diri dari berbicara, melainkan simbol pembersihan jiwa, menundukkan hawa nafsu, dan memohon kelancaran di tahun yang baru. Suasana magis ini semakin terasa dengan diiringi obor-obor yang menjadi penerang jalan, seolah menuntun langkah menuju kesucian.
Larung Sesaji di Pesisir Selatan
Bergeser ke pesisir selatan Jawa, di bibir pantai yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, tradisi lain bersemi. Masyarakat nelayan dan petani di kawasan ini menyambut 1 Suro dengan Larung Sesaji. Beragam hasil bumi, bunga-bunga, hingga jajan pasar diatur rapi dalam perahu-perahu kecil, kemudian dilarung ke laut sebagai persembahan. Tradisi ini adalah wujud rasa syukur atas rezeki yang telah dilimpahkan, sekaligus memohon keselamatan dan berkah di musim tanam atau musim melaut yang akan datang. Gemuruh ombak seolah menjadi saksi bisu atas ketulusan hati mereka, yang percaya bahwa laut adalah sumber kehidupan yang patut dihormati.
Pawai Obor dan Doa Bersama di Penjuru Kota
Tak hanya di keraton atau pesisir, kemeriahan malam 1 Muharram juga terasa di perkotaan dan pedesaan lainnya. Pawai Obor menjadi pemandangan umum yang memukau. Anak-anak hingga orang dewasa, beriringan membawa obor yang menyala terang, menerangi jalan-jalan desa dan kota. Cahaya obor ini melambangkan harapan, penerangan dari kegelapan, dan semangat persatuan. Setelah pawai, biasanya dilanjutkan dengan doa bersama di masjid atau mushola, memanjatkan harapan agar tahun yang baru membawa kebaikan, keselamatan, dan dijauhkan dari segala musibah. Suara-suara ayat suci Al-Qur'an dan dzikir bergema, menciptakan atmosfer spiritual yang kuat.
Bubur Suro dan Tradisi Selametan
Di banyak rumah tangga, malam 1 Suro juga identik dengan Bubur Suro. Bubur berwarna putih ini, seringkali disajikan dengan aneka lauk pauk dan tujuh jenis umbi-umbian, bukan sekadar hidangan biasa. Ia adalah simbol keberkahan dan harapan akan kemudahan rezeki. Tradisi selametan atau syukuran juga menjadi bagian tak terpisahkan. Sanak saudara dan tetangga berkumpul, berbagi hidangan, dan mendoakan kebaikan bersama. Momen ini mempererat tali silaturahmi, mengingatkan kita akan pentingnya kebersamaan dan saling berbagi.
Setiap tradisi, dengan caranya sendiri, adalah cerminan dari kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam menyambut pergantian tahun. Malam 1 Muharram, atau 1 Suro, bukan hanya tentang ritual dan upacara, tetapi lebih dari itu, ia adalah waktu untuk merefleksikan diri, memaafkan, dan memulai lembaran baru dengan hati yang bersih. Sebuah pengingat bahwa di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, akar budaya dan spiritualitas tetap tumbuh kokoh, menjadi pijakan dalam melangkah menuju masa depan yang lebih baik.
Bagaimana dengan daerahmu? Adakah tradisi unik lainnya dalam menyambut Tahun Baru Islam?